09 Juli 2010
73 Tahun WO Ngesti Pandowo (1)
Cicuk Sendiri Memimpin Anak Wayang
Oleh Bambang Iss
KALAU tidak karena kecintaan dan historik, mungkin sudah kemarin-kemarin Cicuk Sastro Sudirdjo menyudahi grup wayang orang (WO) Ngesti pandowo. Kelompok pertunjukan tradisional yang saat ini masih berdiri di Semarang itu adalah satu dari segelintir kelompok wayang orang di republik ini, yakni Sriwedari (Solo) dan Barata (Jakarta).
Ketika memimpin seniman tradisi pun Cicuk memilih berjuang sendiri, bukan mau one man show, tapi menyadari bahwa mengurus seniman itu susah, maka ia tak mau orang lain ikut kerepotan. Lihat saja, dari manajemen, urusan kreatif, marketing semuanya ditangani lelaki kelahiran Solo 18 Juli 1956 ini.
Soal kepuasan materi? Jangan bermimpi mendapatkan keuntungan materi jika mengelola wayang orang "Kalau kepuasan batin mungkin iya. Jika penontonannya banyak, gedung penuh, wah di situ kepuasan saya," kata Cicuk.
Cicuk memimpin Ngesti Pandowo sejak 2004. Dia meneruskan 5 kepemimpinan di imperium ini, setelah sebelumnya dijabat pertamakali oleh Sastro Sabdo, lantas dilanjutkan Sastro Sudirdjo, Narto Sabdo, Mashuri dan Ani Sukanti.
Di masa perjuangan dulu, Ngesti Pandowo juga penuh perjuangan. Sejak berdiri 1937 Ngesti Pandowo berpentas kelilingan di berbagai kota di Jawa Tengah. Itu dilakukan dari tahun 1937 sampai 1954. Atas kebaikan Gubernur Hadi Subeno grup ini dipinjami tempat di gedung GRIS jalan Pemuda Semarang.
Deposito bank.
Ketika GRIS digusur tahun 1996, Ngesti Pandowo pun ikut digusur dengan pesangon Rp 500 juta tanpa jaminan tempat. "Pesangon itu lantas kami simpan di bank dan bunga deposito kami pakai untuk menyewa gedung pertunjukan," cerita Cicuk.
Misalnya setelah sempat menempati salah satu gedung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) (1997) WO ini sempat terhenti salama setahun. Dari uang bunga bank, WO ini mengontrak salah satu gedung di pusat hiburan rakyat Istana Majapahit. "Kami mengontrak tempat setahun 3 juta di sana," kata Cicuk yang lahir dari pasangan seniman wayang Sastro Sudirdjo dan Mulyani ini.
Kini WO Ngesti Pandowo menempati gedung Ki Narto Sabdo di Kompleks TBRS jalan Sriwijaya, dengan status pinjam pakai. "Kewajiban kami hanya merawat gedung, dengan mengambil dana dari bantuan pemerintah tiap tahunnya," kata Cicuk.
Beruntung, kini Ngesti Pandowo mulai banyaj dilirik orang. Bantuan dana dari pemprov Jateng pun masih bisa dirakasakan. Berbagai pihakkbanyak yang mengajak kerjasama, misalnya pentas bersama. Sepeti bulan Juli ini Ngesti Pandowo menyiapkan pertunjukan spesial dalam rangka ulang tahunnya yang ke 73. (Bersambung)
73 Tahun WO Ngesti Pandowo (1)
Cicuk Sendiri Memimpin Anak Wayang
Oleh Bambang Iss
KALAU tidak karena kecintaan dan historik, mungkin sudah kemarin-kemarin Cicuk Sastro Sudirdjo menyudahi grup wayang orang (WO) Ngesti pandowo. Kelompok pertunjukan tradisional yang saat ini masih berdiri di Semarang itu adalah satu dari segelintir kelompok wayang orang di republik ini, yakni Sriwedari (Solo) dan Barata (Jakarta).
Ketika memimpin seniman tradisi pun Cicuk memilih berjuang sendiri, bukan mau one man show, tapi menyadari bahwa mengurus seniman itu susah, maka ia tak mau orang lain ikut kerepotan. Lihat saja, dari manajemen, urusan kreatif, marketing semuanya ditangani lelaki kelahiran Solo 18 Juli 1956 ini.
Soal kepuasan materi? Jangan bermimpi mendapatkan keuntungan materi jika mengelola wayang orang "Kalau kepuasan batin mungkin iya. Jika penontonannya banyak, gedung penuh, wah di situ kepuasan saya," kata Cicuk.
Cicuk memimpin Ngesti Pandowo sejak 2004. Dia meneruskan 5 kepemimpinan di imperium ini, setelah sebelumnya dijabat pertamakali oleh Sastro Sabdo, lantas dilanjutkan Sastro Sudirdjo, Narto Sabdo, Mashuri dan Ani Sukanti.
Di masa perjuangan dulu, Ngesti Pandowo juga penuh perjuangan. Sejak berdiri 1937 Ngesti Pandowo berpentas kelilingan di berbagai kota di Jawa Tengah. Itu dilakukan dari tahun 1937 sampai 1954. Atas kebaikan Gubernur Hadi Subeno grup ini dipinjami tempat di gedung GRIS jalan Pemuda Semarang.
Deposito bank.
Ketika GRIS digusur tahun 1996, Ngesti Pandowo pun ikut digusur dengan pesangon Rp 500 juta tanpa jaminan tempat. "Pesangon itu lantas kami simpan di bank dan bunga deposito kami pakai untuk menyewa gedung pertunjukan," cerita Cicuk.
Misalnya setelah sempat menempati salah satu gedung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) (1997) WO ini sempat terhenti salama setahun. Dari uang bunga bank, WO ini mengontrak salah satu gedung di pusat hiburan rakyat Istana Majapahit. "Kami mengontrak tempat setahun 3 juta di sana," kata Cicuk yang lahir dari pasangan seniman wayang Sastro Sudirdjo dan Mulyani ini.
Kini WO Ngesti Pandowo menempati gedung Ki Narto Sabdo di Kompleks TBRS jalan Sriwijaya, dengan status pinjam pakai. "Kewajiban kami hanya merawat gedung, dengan mengambil dana dari bantuan pemerintah tiap tahunnya," kata Cicuk.
Beruntung, kini Ngesti Pandowo mulai banyaj dilirik orang. Bantuan dana dari pemprov Jateng pun masih bisa dirakasakan. Berbagai pihakkbanyak yang mengajak kerjasama, misalnya pentas bersama. Sepeti bulan Juli ini Ngesti Pandowo menyiapkan pertunjukan spesial dalam rangka ulang tahunnya yang ke 73. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar